Sudah sering Ferry didatangi salesman perusahaan asuransi. Toh ia tetap tak bergeming. Bejibun tawaran untuk ikut asuransi —dengan segala macam kelebihannya — secuil pun tak membuat hati Ferry luluh. Ia tetap menolak menjadi nasabah dan memiliki polis. Sebagai kawan dekatnya, nyaris dalam berbagai kesempatan, saya sudah mencoba membuka wawasannya tentang keuntungan jika mengantongi polis asuransi. Tapi ya itu tadi, ia tetap tak bersemangat. Malah apa yang saya sarankan sepertinya masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Saya pun menyerah.
Akhirnya, dalam satu kesempatan, saya mengetahui mengapa sohib saya itu bersikap demikian. Ceritanya, suatu hari saya tergeletak di rumah sakit. Dokter menvonis bahwa saya menderita paru-paru basah akibat bekerja siang malam di ruang berpendingin. Padahal asap rokok terus mengepul di ruang kerja berukuran 5 x 5 meter itu. Maklum, tak nikmat rasanya bekerja di depan komputer tanpa ditemani rokok.
Semula saya berpikir bahwa semua berjalan lancar. Soal biaya, tak perlu khawatir. Saya tidak akan mengeluarkan uang seperak pun untuk biaya rumah sakit lantaran semua bakal ditanggung pihak asuransi. Tapi apa yang terjadi? Ternyata tak seperti yang saya bayangkan. Selesai dirawat, saya justru harus merogoh kocek dari kantong sendiri untuk membayar biaya perawatan lantaran pihak asuransi menganggap sakit yang saya derita ada hubungannya dengan penyakit sebelum saya terikat polis asuransi. Marah dan kecewa, sudah pasti itu yang saya rasakan. Apalagi ketika pertama kali mengambil polis asuransi kesehatan, tidak ada pemberian informasi secara lengkap dan rinci. Tidak ada penjelasan dari pihak perusahaan asuransi bahwa bila ada kaitan dengan penyakit sebelum kita bergabung dengan pemegang polis, biaya perawatan tidak akan diganti. Yang disodorkan adalah ketika sakit, kita akan terbebas dari biaya rumah sakit. Itu saja.
Ketika saya menceritakan pengalamat pahit itu kepada Ferry, ia tersenyum kecut sembari berkata, “Saya punya pengalaman buruk juga dengan asuransi. Setali tiga uang, apa yang saya alami juga terjadi pada orang tua saya. Tragisnya, usai kematian orang tuanya, ia masih harus mencicil hutang biaya rumah sakit ke kantornya akibat ketidakjelasan soal biaya yang ditanggung pihak asuransi. Praktis, peristiwa getir itu menyebabkan teman sekarib saya sejak SD itu tak percaya dengan asuransi model apa pun. Baginya asuransi tak lebih dari sebuah penipuan.
Pemanfaatan Teknologi InformasiSebenarnya tak sedikit orang yang traumatis dengan asuransi. Sudah bukan rahasia lagi, jika pihak asuransi bersikap manis di muka tetapi pahit di belakang. Pasalnya, mereka acapkali tidak menjelaskan apa yag semestinya diketahui nasabah. Malah kadang informasi yang semestinya patut diketahui oleh calon nasabah sebelum mengambil keputusan untuk bergabung, justru ditutup-tutupi. Pendeknya, tidak ada transparansi informasi.
Stigma buruk terhadap perusahaan asuransi tentunya tak bisa dibiarkan. Tidak ada cara lain untuk bisa menarik hati masyarakat kecuali mereka yang berkecimpung di bisnis ini harus memperbaiki berbagai image buruk yang terlanjur tersebar di masyarakat. Langkah awal adalah melakukan perbaikan interen. Di sini, harus ada ketegasan sikap untuk tidak mencederai komitmen mereka sendiri kepada pemegang polis. Bila perlu, jadikan budaya yang mengakar di setiap pegawai asuransi.
Terobosan internal lain yang tak kalah penting adalah meningkatkan kualitas layanan kepada nasabah. Di tengah persaingan bisnis asuransi yang kompetitif, tidak ada lagi pelayanan yang rumit, apalagi berbelit-belit. Tidak ada salahnya bila perusahaan asuransi mulai menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk membuat layanan menjadi cepat, mudah, dan transparan. TI bisa dimanfaatkan mulai dari membuat database nasabah, menyediakan sarana interaksi yang mudah dan cepat antara pihak asuransi dengan nasabah, hingga penyebaran informasi penting via website. Adanya database digital praktis akan memudahkan pihak asuransi melayani nasabah khususnya saat mereka melakukan penarikan klaim.
Ada satu contoh perusahaan asuransi yang sudah memanfaatkan TIK dan terbilang sukses. NTUC Income —perusahaan asuransi asal Singapura— telah mengubah 40 juta halaman data yang dimilikinya ke dalam bentuk dokumen elektronik yang juga bisa diterima sebagai bukti di pengadilan. Data yang telah terdigitalisasi itu membuat perusahaan tersebut dapat menghemat US$ 6 juta per tahun. Penghematan didapat dari proses pekerjaan yang tidak memakai kertas lagi (paper less).
James Kang, CIO (Chief Information Officer) NTUC Income, juga melakukan terobosan dengan membuat pusat pelayanan komunikasi kepada pelanggan, yang disebut pusat telepon (contact centre). Adanya pusat telepon benar-benar memanjakan dan menghargai nasabah. Bagaimana tidak, setiap telepon dari nasabah segera dijawab atau setidaknya paling lama dalam tiga kali dering, telepon sudah dijawab oleh petugas. Di kantor ini, diharamkan menjawab telepon hingga empat kali dering atau lebih. Alhasil, bila nasabah memerlukan informasi, mereka tak perlu menunggu lama.
Yang tak kalah menarik, para nasabah disapa dengan sebutan nama, bukan nomor keanggotaan. Lantas dari mana mereka mendapat nama begitu cepat, padahal si penelepon belum menyebutkan namanya? Itulah gunanya data digital. Berbekal data digital, setiap telepon yang berbunyi langsung terakses dengan data elektronik sehingga operator yang menerima telepon dapat segera mengetahui nama penelepon. Petugas juga dapat melihat atau mengecek perkembangan nasabah dari data yang ditayangkan di layar komputer. Misalnya data mengenai penambahan potensi asuransi dari anggota keluarga yang bertambah usia. Nah, dari data ini dapat ditindaklanjuti oleh agen untuk proses pemasaran lebih lanjut.
Dukungan Aturan dan Perubahan SikapSejatinya, masih banyak lagi manfaat bila pihak asuransi mau menggunakan TI. Apalagi perkembangan TIK telah memasuki konvergensi berbagai sarana sehingga lebih memudahkan nasabah mengakses informasi. Kondisi ini juga memudahkan pihak asuransi berinteraksi dengan nasabah sekaligus menggarap pasar. Setidaknya, ponsel yang telah merebak ke masyarakat bawah bisa digunakan sebagai salah-satu sarana. Lewat SMS misalnya.
Namun satu hal yang tidak boleh dilupakan, berbagai terobasan tadi harus dibarengi dengan aturan yang jelas, lengkap, dan tegas. Jangan sampai sistem yang sudah bagus terbengkalai lantaran tidak adanya dukungan aturan. Selain itu, perubahan sikap termasuk cara kerja harus dilakukan. Tidak saja di jajaran top management, namun hinga ke petugas lapangan yang langsung bersentuhan dengan nasabah. Bila hal ini dilakukan, bisa dipastikan bahwa asuransi bisa ditempatkan sebagai suatu kebutuhan dan bermanfaat untuk umat manusia.
Di negara maju —tempat asuransi sudah menjadi kebutuhan— masyarakatnya tidak bisa melakukan apa pun tanpa dukungan polis asuransi. Bahkan, nyaris banyak hal harus didukung dengan asuransi. Orang sakit yang akan berobat disyaratkan pihak rumah sakit memiliki polis asuransi kesehatan. Mereka pun tak akan bisa libur jauh jika rumah tidak diasuransikan. Bagaimana dengan negara kita? Asuransi belumlah menjadi kebutuhan wajib. Nah, dengan memanfaatkan TIK, tahapan untuk menuju ke sana setapak demi setapak bisa terwujud. Dan untuk melakukan perubahan dan berbenah diri sehingga membuat kondisi menjadi kondusif, sekiranya pihak asuransi tak perlu menunggu uluran tangan pemerintah.
Akhirnya, tidak ada pilihan lain, sudah saatnya bisnis asuransi melakukan perubahan manajemen dengan memanfaatkan TIK. Sekali lagi, patut diingat, persaingan yang kompetitif termasuk makin banyaknya pemain dari luar negeri, dengan sendirinya bakal menggusur mereka yang menelantarkan nasabah dan tidak menyuguhkan layanan berkualitas. Apalagi masyarakat kita lambat laun lebih jeli memilih. Mereka tahu dengan siapa mereka harus bergabung sebagai nasabah. Kecanggihan TIK akan membuka mata mereka mana perusahaan asuransi yang berkualitas yang dapat mensejahterakan kehidupan mereka.
Akhirnya, dalam satu kesempatan, saya mengetahui mengapa sohib saya itu bersikap demikian. Ceritanya, suatu hari saya tergeletak di rumah sakit. Dokter menvonis bahwa saya menderita paru-paru basah akibat bekerja siang malam di ruang berpendingin. Padahal asap rokok terus mengepul di ruang kerja berukuran 5 x 5 meter itu. Maklum, tak nikmat rasanya bekerja di depan komputer tanpa ditemani rokok.
Semula saya berpikir bahwa semua berjalan lancar. Soal biaya, tak perlu khawatir. Saya tidak akan mengeluarkan uang seperak pun untuk biaya rumah sakit lantaran semua bakal ditanggung pihak asuransi. Tapi apa yang terjadi? Ternyata tak seperti yang saya bayangkan. Selesai dirawat, saya justru harus merogoh kocek dari kantong sendiri untuk membayar biaya perawatan lantaran pihak asuransi menganggap sakit yang saya derita ada hubungannya dengan penyakit sebelum saya terikat polis asuransi. Marah dan kecewa, sudah pasti itu yang saya rasakan. Apalagi ketika pertama kali mengambil polis asuransi kesehatan, tidak ada pemberian informasi secara lengkap dan rinci. Tidak ada penjelasan dari pihak perusahaan asuransi bahwa bila ada kaitan dengan penyakit sebelum kita bergabung dengan pemegang polis, biaya perawatan tidak akan diganti. Yang disodorkan adalah ketika sakit, kita akan terbebas dari biaya rumah sakit. Itu saja.
Ketika saya menceritakan pengalamat pahit itu kepada Ferry, ia tersenyum kecut sembari berkata, “Saya punya pengalaman buruk juga dengan asuransi. Setali tiga uang, apa yang saya alami juga terjadi pada orang tua saya. Tragisnya, usai kematian orang tuanya, ia masih harus mencicil hutang biaya rumah sakit ke kantornya akibat ketidakjelasan soal biaya yang ditanggung pihak asuransi. Praktis, peristiwa getir itu menyebabkan teman sekarib saya sejak SD itu tak percaya dengan asuransi model apa pun. Baginya asuransi tak lebih dari sebuah penipuan.
Pemanfaatan Teknologi InformasiSebenarnya tak sedikit orang yang traumatis dengan asuransi. Sudah bukan rahasia lagi, jika pihak asuransi bersikap manis di muka tetapi pahit di belakang. Pasalnya, mereka acapkali tidak menjelaskan apa yag semestinya diketahui nasabah. Malah kadang informasi yang semestinya patut diketahui oleh calon nasabah sebelum mengambil keputusan untuk bergabung, justru ditutup-tutupi. Pendeknya, tidak ada transparansi informasi.
Stigma buruk terhadap perusahaan asuransi tentunya tak bisa dibiarkan. Tidak ada cara lain untuk bisa menarik hati masyarakat kecuali mereka yang berkecimpung di bisnis ini harus memperbaiki berbagai image buruk yang terlanjur tersebar di masyarakat. Langkah awal adalah melakukan perbaikan interen. Di sini, harus ada ketegasan sikap untuk tidak mencederai komitmen mereka sendiri kepada pemegang polis. Bila perlu, jadikan budaya yang mengakar di setiap pegawai asuransi.
Terobosan internal lain yang tak kalah penting adalah meningkatkan kualitas layanan kepada nasabah. Di tengah persaingan bisnis asuransi yang kompetitif, tidak ada lagi pelayanan yang rumit, apalagi berbelit-belit. Tidak ada salahnya bila perusahaan asuransi mulai menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) untuk membuat layanan menjadi cepat, mudah, dan transparan. TI bisa dimanfaatkan mulai dari membuat database nasabah, menyediakan sarana interaksi yang mudah dan cepat antara pihak asuransi dengan nasabah, hingga penyebaran informasi penting via website. Adanya database digital praktis akan memudahkan pihak asuransi melayani nasabah khususnya saat mereka melakukan penarikan klaim.
Ada satu contoh perusahaan asuransi yang sudah memanfaatkan TIK dan terbilang sukses. NTUC Income —perusahaan asuransi asal Singapura— telah mengubah 40 juta halaman data yang dimilikinya ke dalam bentuk dokumen elektronik yang juga bisa diterima sebagai bukti di pengadilan. Data yang telah terdigitalisasi itu membuat perusahaan tersebut dapat menghemat US$ 6 juta per tahun. Penghematan didapat dari proses pekerjaan yang tidak memakai kertas lagi (paper less).
James Kang, CIO (Chief Information Officer) NTUC Income, juga melakukan terobosan dengan membuat pusat pelayanan komunikasi kepada pelanggan, yang disebut pusat telepon (contact centre). Adanya pusat telepon benar-benar memanjakan dan menghargai nasabah. Bagaimana tidak, setiap telepon dari nasabah segera dijawab atau setidaknya paling lama dalam tiga kali dering, telepon sudah dijawab oleh petugas. Di kantor ini, diharamkan menjawab telepon hingga empat kali dering atau lebih. Alhasil, bila nasabah memerlukan informasi, mereka tak perlu menunggu lama.
Yang tak kalah menarik, para nasabah disapa dengan sebutan nama, bukan nomor keanggotaan. Lantas dari mana mereka mendapat nama begitu cepat, padahal si penelepon belum menyebutkan namanya? Itulah gunanya data digital. Berbekal data digital, setiap telepon yang berbunyi langsung terakses dengan data elektronik sehingga operator yang menerima telepon dapat segera mengetahui nama penelepon. Petugas juga dapat melihat atau mengecek perkembangan nasabah dari data yang ditayangkan di layar komputer. Misalnya data mengenai penambahan potensi asuransi dari anggota keluarga yang bertambah usia. Nah, dari data ini dapat ditindaklanjuti oleh agen untuk proses pemasaran lebih lanjut.
Dukungan Aturan dan Perubahan SikapSejatinya, masih banyak lagi manfaat bila pihak asuransi mau menggunakan TI. Apalagi perkembangan TIK telah memasuki konvergensi berbagai sarana sehingga lebih memudahkan nasabah mengakses informasi. Kondisi ini juga memudahkan pihak asuransi berinteraksi dengan nasabah sekaligus menggarap pasar. Setidaknya, ponsel yang telah merebak ke masyarakat bawah bisa digunakan sebagai salah-satu sarana. Lewat SMS misalnya.
Namun satu hal yang tidak boleh dilupakan, berbagai terobasan tadi harus dibarengi dengan aturan yang jelas, lengkap, dan tegas. Jangan sampai sistem yang sudah bagus terbengkalai lantaran tidak adanya dukungan aturan. Selain itu, perubahan sikap termasuk cara kerja harus dilakukan. Tidak saja di jajaran top management, namun hinga ke petugas lapangan yang langsung bersentuhan dengan nasabah. Bila hal ini dilakukan, bisa dipastikan bahwa asuransi bisa ditempatkan sebagai suatu kebutuhan dan bermanfaat untuk umat manusia.
Di negara maju —tempat asuransi sudah menjadi kebutuhan— masyarakatnya tidak bisa melakukan apa pun tanpa dukungan polis asuransi. Bahkan, nyaris banyak hal harus didukung dengan asuransi. Orang sakit yang akan berobat disyaratkan pihak rumah sakit memiliki polis asuransi kesehatan. Mereka pun tak akan bisa libur jauh jika rumah tidak diasuransikan. Bagaimana dengan negara kita? Asuransi belumlah menjadi kebutuhan wajib. Nah, dengan memanfaatkan TIK, tahapan untuk menuju ke sana setapak demi setapak bisa terwujud. Dan untuk melakukan perubahan dan berbenah diri sehingga membuat kondisi menjadi kondusif, sekiranya pihak asuransi tak perlu menunggu uluran tangan pemerintah.
Akhirnya, tidak ada pilihan lain, sudah saatnya bisnis asuransi melakukan perubahan manajemen dengan memanfaatkan TIK. Sekali lagi, patut diingat, persaingan yang kompetitif termasuk makin banyaknya pemain dari luar negeri, dengan sendirinya bakal menggusur mereka yang menelantarkan nasabah dan tidak menyuguhkan layanan berkualitas. Apalagi masyarakat kita lambat laun lebih jeli memilih. Mereka tahu dengan siapa mereka harus bergabung sebagai nasabah. Kecanggihan TIK akan membuka mata mereka mana perusahaan asuransi yang berkualitas yang dapat mensejahterakan kehidupan mereka.
No comments:
Post a Comment